Rabu, 05 April 2017

MENDIDIK ANAK (JANGAN) DENGAN DONGENG

“How do you expect kids to listen to their parents... Tarzan lives half naked, Cinderella comes back home at midnight, Pinocchio lies all the time, Aladdin is the king of thieves, Batman drives at 320 KM/h, Sleeping beauty is lazy, and Snow white lives with 7 guys. We shouldn't be surprised when kids misbehave! They get it from their story books”. X_X

Pesan BBM itu terkirim dari seorang sahabat di suatu sore pada bulan April… Sejenak tertegun membacanya dan tersenyum-senyum sendiri (tapi itu reaksi yang wajar dan bukan gejala kegilaan lho)…he3

Aku terus berpikir…walo sekilas pesan itu hanya sebuah guyon, Tapi kupikir ini serius juga… Hmm…sepertinya bukan hanya dongeng2 ala Disney, Marvel Comics, ataupun 1001 malam itu yang kalo kita renungkan jalan cerita serta karakter tokoh2nya ternyata mengandung ajaran yang kurang bener – terutama bila dilihat dengan paradigma Islam... tapi, dongeng2 dari negeri kita sendiri -dongeng2 nusantara- ternyata banyak juga yang kurang bener… (Whaduuw gawaat…). Masaaak??

Coba aja simak :

1)      Kisah Ande2 Lumut & Yuyu Kangkang, ini adalah kisah yang sangat merendahkan perempuan karena perempuan dalam dongeng ini (Klenthing Abang dan Klenthing Ijo) harus bela2in memburu si pria (Ande2 Lumut), bahkan harus disertai dengan pengorbanan untuk rela dinodai Si Yuyu Kangkang ketika akan menyeberang sungai. Si Klenthing Kuning yang menjadi pemenang dalam cerita ini, walo suci bebas dr perkosaan Yuyu Kangkang, tetap bukanlah sosok yang ideal dan patut dicontoh karena meski perawan tapi Klenthing Kuning adalah gadis yang jorok(kemproh) hingga baunya seperti mbelek lencung (tahi ayam yang super bau). Wanita sholihah harusnya dapat menjaga kehormatan dan juga penampilan diri yang bersih menghindari najis.

2)      Kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan, juga bukan kisah yang pantas untuk dicontoh. Bagaimana mungkin seorang bidadari kahyangan yang suci, tetapi mandi sembarangan di tempat terbuka? Belum lagi baju yang diletakkan di sembarang tempat… pasti Dewi Nawangwulan ini seorang bidadari yang ceroboh. Sedangkan Jaka Tarub? Wah, maaf saja, barangkali dia seorang psycho pengidap voyeurism (kelainan jiwa suka mengintip) sehingga dengan tega mengintip para bidadari mandi, bahkan mencuri bajunya…. (#teplok jidat#)

3)      Bawang Merah-Bawang Putih, juga kisah yang tidak kalah rusaknya. Selain membuat pencitraan bahwa “Ibu Tiri pasti Jahat”, kisah Bawang Putih yang mencuci baju di sungai hingga hanyut,menggambarkan seorang gadis yang jorok karena sungai jaman sekarang kan nggak ada yang bersih (Yee…itu kan konteks jaman dulu..) Iya, jaman dulu sungai masih bersih, tapi semua orang kan M-C-K (mandi-cuci-kakus) semua tumplek bleg di sungai itu…jorok dong. Belum lagi mencuci di sungai itu perbuatan yang merusak lingkungan hidup karena deterjennya ngga bisa diurai bakteri…. (Yee…jaman dulu belum ada deterjen…) Iya, tapi kalo Ibu Tiri itu kaya, kenapa juga ngga mbangun sumur di rumah? (semakin memberi citra buruk bahwa ibi tiri itu pelit)…

4)      Kisah Bandung Bandawasa dan Rara Jonggrang, kisah ini menggambarkan Rara Jonggrang yang super matre. Mestinya kalo memang tidak suka dengan seorang pria yang melamar, ungkapkan saja terus terang dan jangan memeberi harapan kosong… Akibatnya kan fatal, demi menuruti syarat dari Rara Jonggrang, Bandung Bandawasa sampai terjerumus perilaku syirik meminta bantuan para jin…

5)      Kisah Si Kancil Nyolong Timun.  Dari dulu kala kerjaannya kok hanya mencuri saja… Kapan Kancil jadi enterpreuner?

Naah…tergambar kan? Walau menurut sebagian pakar pendidikan, dongeng itu positif digunakan untuk membentuk kepribadian anak2 kita, tapi harus pilih2 dong, dongeng yang kayak apa dulu..?? Ya to. Alhasil, sungguh benar bila dalam pendidikan Islam, kisah (bukan dongeng) sejarah para Nabi dan Rasul serta kisah2 dalam Al Quran merupakan sumber terbaik yang wajib didengar anak2 kita menjelang tidur. Kisah2 itu bukan dongeng, tetapi  berdasar kenyataan  yang istimewanya, dapat berlaku sepanjang zaman… Coba aja…dan lihat apa yang terjadi…!! ^_^

Wallahu a’lam bishowab…

Jumat, 14 Juni 2013

Telpon Pertama Nada



Para pembaca tercinta... ini tulisan saya sekitar 7 tahun lalu. Saat itu Nada anak saya, masih TK nol besar dan ini adalah catatan saya tentang momen pertama Nada belajar bertelepon. Waktu itu masih memakai telpon kabel (Telkom) karena harga pulsa HP masih mahal. Coba deh dibaca, rasanya lucu sekali... :-)


            Nada (6 tahun), seorang anak Taman Kanak-kanak (TK) B. Di suatu sore sepulang sekolah tampak sibuk mengaduk-aduk isi tas sekolahnya. Mulutnya pun sibuk menerangkan bahwa dia tengah mencari sesuatu. Nada pulang sore karena bersekolah di sebuah TKIT (TK Islam Terpadu ) Full Day. Masuk jam 8 pagi dan bubar jam 14.30 WIB. Kepenatan sama sekali tidak tampak dari wajahnya yang mungil. Sebaliknya, dengan penuh semangat dia masih juga berceloteh. Kini tangannya tak sekedar mengaduk-aduk isi tas, tetapi mengeluarkan isinya satu-persatu : Baju seragam kotor yang dipakainya tadi pagi, parfum anak-anak, dan terakhir tampaklah sobekan-sobekan kertas.
            “Ini dia !” serunya bersemangat. “Umi, ini nomer telpon mbak Salma dan mbak Intan. Tadi di sekolah aku diberi. Katanya aku disuruh nelpon.” Salma dan Intan adalah nama teman-teman perempuan di kelasnya.
            Matanya membola penuh harap. Ujarnya, “Boleh ya Mi, aku nelpon mereka?” Nada memandang uminya, yang tak lain adalah aku.
            ”Coba umi periksa dulu. Kalau nomer hand phone tidak boleh. Harus nomer rumah,” kataku. Kulihat dua nomer itu. Yang satu ber-awalan angka 7-sekian-sekian, dan yang satunya berawalan 081-sekian-sekian.
            ”Yang ini nomer siapa?” tanyaku menunjuk kertas yang bertuliskan angka berkepala 7.
            ” Punya mbak Salma”, kata Nada.
            ”Kalau nelpon nomer rumah pakai telpon rumah kita tu lebih murah. Kalau yang punya mbak Intan ini nomer hand phone, kalau kita telpon harganya lebih mahal. Kamu boleh nelpon mbak Salma”, kataku. ”Ayo, coba sendiri”.
            Sambil tersenyum-senyum gembira, Nada mendekat ke rak kayu tempat telpon dipasang. Posisi pesawat telpon ditempel vertikal, dan agak terlalu tinggi bagi jangkauan tangannya yang mungil. Dari awal, telpon tersebut memang dipasang agak tinggi agar jauh dari jangkauan anak-anak, agar tidak dibuat mainan. Tetapi dalam kondisi hari itu, rasanya aku agak menyesal mengapa telpon itu dipasang terlalu tinggi. Momen bertelepon ini sungguh istimewa karena ini adalah kali pertama dia bertelepon beneran. Biasanya Cuma main-main saja. Aku merasa beruntung mendapat kesempatan ini.
            Gagang telpon telah mantap dalam pegangan Nada. Matanya berganti-ganti dari melihat tombol-tombol telpon ke kertas yang ada di hadapannya. Kakinya berjinjit-jinjit, dan jari-jarinya berusaha menekan nomer-nomer satu persatu. Mulutnya sibuk menggumamkan angka-angka. Tetapi apa mau dikata, karena tenggang pemencetan dari satu tombol ke tombol berikutnya terlalu jauh, nomer yang dituju tidak nyambung.
            ”Kok nggak bisa, ” katanya. Matanya memelas. ”Gimana, mi”.
            Aku pun jadi tidak tega. Kudekati dirinya, dan segera kupencetkan deretan angka itu untuknya. Sebelum terdengar nada panggil, gagang telpon cepat kuangsurkan ke anak kecil itu.
            “Halo?” serunya. “Nyambung, mi”, senyumnya lebar.
            “Halo, ini siapa?” Mendengar ucapan itu aku jadi tersenyum kecut, pasti Nada belum tahu bahwa seharusnya dia tidak mengawali kalimatnya seperti itu. Sayup-sayup kudengar suara di seberang sana.
            “Ini ibunya mbak Salma” (Oh, pasti yang sedang ditelepon maklum kalau yang menelpon teman anaknya). “Ini siapa, ya?”
            “Ini mbak Nada, Mbak Salma ada?” kata Nada. Terdengar jawaban mengiyakan, sesaat Nada terdiam menunggu.
            “Halo! Siapa ini?” Ada suara cempreng sayup terdengar. Itu pasti Salma. Nada melonjak gembira. Nada dan Salma setiap hari bertemu. Tetapi sepertinya Nada terpesona dengan suara Salma yang didengarnya lewat telpon. Ini adalah kali pertamanya mendengar suara Salma secara tidak langsung.
            “Halo! Aku Nada...mbak Salma tadi udah ke rumah mas Uzan?” tanya Nada.
            “Belom...” jawab Salma.
            “Oo... ya udah kalo gitu. Udah ya, assalamualaikum...” tanpa kuduga Nada menyudahi aktivitas berteleponnya.
            ”Lho, kok udah?” tanyaku.
            ”He’eh, soalnya aku belum ada ide. Nanti kalo aku udah punya ide, boleh ngga telpon mbak Salma lagi?” tanyanya.
            “Boleh”, jawabku singkat. Aku tahu yang dia maksud dengan “ide” adalah jika Nada punya bahan lagi untuk dapat ditelponkan kepada Salma.

            Teknologi telpon adalah teknologi yang sangat menakjubkan. Dengan alat itu, jarak yang seberapa jauhnya dapat terhubungkan dalam waktu yang bersamaan. Bagi orang dewasa, bertelpon adalah kebutuhan sekaligus sebagai gaya hidup. Tetapi bagi anak-anak, bertelepon adalah cara mereka untuk menjadi orang dewasa. Anak-anak seringkali iri dengan orang dewasa karena orang dewasa memiliki kemandirian, boleh melakukan ini-itu tanpa banyak larangan. Bertelepon secara serius adalah upaya untuk meyakinkan bahwa mereka punya hak untuk diberi kepercayaan, sekaligus sebagai sarana untuk bersenang-senang seperti orang dewasa (dalam bayangan mereka).

Selasa, 27 Desember 2011

KEMINDERAN PANGKAL KEMUNDURAN

            Di tahun 1974, Profesor Koentjaraningrat pernah menulis dalam bukunya : Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, mengenai perbedaan mentalitet (=mentalitas) antara orang Jepang dengan orang Indonesia. Buku tersebut memang lahir di masa Orde Baru dan dilatarbelakangi kepentingan politik pemerintah RI yang sedang berusaha mencari model yang sesuai dalam rangka pembangunan. Lepas dari wacana pembangunanisme Orde Baru, tulisan Koentjaraningrat tersebut masih terasa relevan saat ini. Dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa ada salah satu ciri perilaku orang Jepang yang diduga kuat dapat mendukung efisiensi secara ekonomis. Perilaku inilah yang dipercaya dapat membangkitkan ekonomi bangsa Jepang sekaligus menghindarkannya dari korupsi. Orang Jepang akan merasa sangat malu bila dipuji atau dikomentari mengenai betapa bagus atau mahalnya benda yang ia kenakan. Misalnya saja ketika memakai baju baru, orang Jepang akan sangat malu bila dikomentari : “Wah, bagus banget bajumu. Pasti mahal sekali, ya?” Bagi mereka, amat memalukan bila ketahuan bahwa baju yang mereka pakai berharga mahal. Sebaliknya, menurut Koentjaraningrat, orang Indonesia rata-rata justru amat senang dan bangga bila dipuji betapa mahal dan bagusnya baju yang ia kenakan. Mungkin bahkan bagi sebagian orang, tanpa diminta dia akan menambah-nambahi dengan info lain demi menambah “kedahsyatan” barang yang dipakainya tersebut.

FOOD, FUN, DAN FASHION
            Dari uraian di atas, barangkali inilah yang menyebabkan betapa di era pertengahan 90-an arus globalisasi demikian deras masuk ke negara kita. Dalam buku yang sangat terkenal : Megatrends 2000, Patricia Aburdene dan John Naisbitt telah menyatakan bahwa globalisasi merupakan suatu keniscayaan yang akan dihadapi dunia pada milenium ketiga. Pelaku utama globalisasi adalah pengendali ideologi yang dominan yang saat ini dikuasai Kapitalisme, terwujud dalam negara adidaya Amerika Serikat dan juga negara-negara Eropa. Globalisasi tersebut akan datang antara lain dengan tiga senjata andalannya yang berupa 3F yaitu : Food, Fun, dan Fashion. Tiga hal ini merupakan kata kunci untuk menggambarkan betapa globalisasi hadir dengan membangkitkan hasrat konsumtif – yang konon banyak dimiliki orang Indonesia – klop dengan mentalitas orang Indonesia.sesuai pernyataan Koentjaraningrat.
            Food, makanan/ hidangan. Globalisasi akan menjadi sarana penyatuan selera dan citarasa dalam hal yang berkaitan dengan makanan. Tengoklah bagaimana Mbak Mimin di Malioboro yang menyantap burger, sama dengan Mimi Roger di Amerika Serikat, The Malboro Country. Sebagai dampaknya, makanan lokal lambat laun dapat tersingkir, terstigma sebagai makanan ndeso yang berbeda kelas dengan makanan global.
            Fun, hiburan. Apa yang dianggap sebagai hiburan di negara biang (Kapitalis), menjadi hiburan pula bagi orang di belahan dunia lain. Lihatlah bagaimana demam Spongebob Squarepants serta Dora The Explorer beberapa waktu lalu, yang demikian memukau anak-anak negeri ini, hingga memunculkan merchandise-nya dimana-mana. Atau demam Smack Down yang berakhir dengan demikian tragis dan menelan banyak korban. Bahkan baru-baru ini, diberitakan adanya seorang anak usia 9 tahun yang tega membunuh bocah lain yang berumur 4 tahun dengan cara yang sangat sadis. Menurut psikiater yang memeriksa anak tersebut, perilaku sadisnya diilhami berbagai tayangan kekerasan di televisi termasuk diantaranya tayangan Smack Down (Indosiar, 8/12/06). Atau bahkan hiburan yang sangat sarkastik seperti rekaman skandal sex tokoh politik dengan pola meniru seperti yang terjadi pada Bill Clinton, Britney Spears, dan Jessica Simpson di AS sana.
            Fashion. Tren fashion merupakan bagian yang sangat penting dalam globalisasi. Perhatikan bahwa pada setiap pergantian tahun, selalu ada penentuan tren warna apa yang akan menjadi kecenderungan fashion yang akan datang. Tren ini menjadi acuan dunia fashion secara internasional. Globalisasi melalui fashion meniscayakan persamaan selera berbusana antara seorang gadis di Paris van Java dengan seseorang di Paris Eropa.
            Ujung dari 3F adalah homogenitas kultural yang sekaligus mengokohkan legitimasi budaya (yang dianggap) unggul dari negara adikuasa. Dalam kata lain, sesungguhnya telah terjadi penjajahan dalam hal selera dan budaya, yang erat kaitannya dengan andil media massa baik elektronik maupun cetak untuk menginjeksikan globalisasi ke seantero dunia.
            Bagi kultur masyarakat Indonesia pada umumnya, globalisasi membawa dampak langsung baik positif maupun negatif. Secara positif, globalisasi yang dicorongkan media massa memungkinkan kemudahan arus informasi bagi masyarakat. Peristiwa-peristiwa di berbagai belahan dunia dengan cepat dapat kita ketahui. Akan tetapi secara negatif, globalisasi dapat diinterpretasikan sebagai bentuk penjajahan gaya baru yang dampaknya memunculkan perasaan inferior dari bangsa-bangsa di luar negara adikuasa.

INFERIORITAS = KEMINDERAN
            Inferioritas ini seringkali muncul dalam berbagai bentuk, yang entah disadari ataupun tidak. Misalnya saja kalau kita mengamati acara Empat Mata-nya Thukul Arwana di TV7. Dalam tiap penampilannya, selalu bila Thukul ditanya oleh bintang tamunya : ”Lha kalau Mas Thukul ini, aslinya darimana?” Pasti jawabannya : ”Lho, nggak tau to. Saya kan dari Eropa. Mosok nggak bisa liat, sih”. Maka geer.. penonton pun menyambutnya dengan tawa. Walaupun pernyataan Thukul ini hanyalah guyon, tetapi seolah ada implikasi yang secara common sense dimiliki oleh Thukul, yaitu adanya ungkapan keminderan. Apa yang dinyatakan Thukul tersebut bisa jadi bukan sekadar ekspresi individu tetapi barangkali bisa dianggap mewakili ”Thukul-Thukul” yang lain atas ”ketidak-cakepan” dirinya. Lalu apa hubungannya dengan globalisasi?
            Globalisasi yang menghasilkan homogenitas kultural, rupanya turut menyetir standar yang diberlakukan secara hegemonik ke segenap penjuru. Standar cantik dan tampan, tak luput dari globalisasi. Hanya mereka yang putih, tinggi-besar, dan atletis-lah yang berhak disebut tampan/ cakep. Mereka yang berkulit sawo matang, pendek, gemuk atau terlalu kurus, tentu harus rela tersingkir dari percaturan cowok cakep. Demikian pula dengan standar cantik bagi perempuan. Hanya mereka yang berbadan langsing, semampai, kulit putih dan berambut lurus-lah yang dianggap layak disebut sebagai orang yang cantik. Diluar itu, silakan sakit hati menerima stigma sebagai perempuan kurang (atau bahkan tidak) cantik.
            Sebagai perpanjangan tangan dari Kapitalisme, globalisasi menimbulkan kesenjangan sosial yang makin melebar antara si kaya dan miskin, padahal nilai-nilai konsumerisme diinjeksikan demikian dahsyat demi suksesnya globalisasi tersebut. Maka tak heran, benda-benda konsumsi yang mencirikan gaya hidup global yang mengangkat gengsi, harganya menjadi sangat mahal. Bila demikian, apakah kemudian si miskin tidak terpengaruh oleh globalisasi?
            Sebagai suatu injeksi budaya, globalisasi mempunyai kemampuan yang sangat dahsyat untuk membujuk siapapun dalam perangkapnya, tanpa memandang status sosial maupun ekonomi seseorang. Ketidakmampuan secara ekonomis, tidak mampu menghalangi masuknya globalisasi dalam setiap lini kehidupan, termasuk bagi si miskin. Karena ketiadaan kemampuan daya beli yang tinggi sementara keinginan untuk mencukupi rasa gengsi demikian tak tertahan, muncullah hibridisasi atau bahkan piracy terhadap produk-produk yang dianggap mencerminkan gaya hidup global. Contohnya produk Kentucku Fried Chicken yang memplesetkan Ketucky Fried Chicken. Atau lingerie berupa BH merk Trampil sebagai plesetan BH Triumph. Dalam hal ini, etos orang Indonesia yang gemar dipuji dandanannya tentu turut menyukseskan arus globalisasi di Indonesia.
Walaupun ada ”jasa-jasa besar” dari globalisasi semisal yang terkait dengan kecepatan arus informasi, tetapi jangan sampai kita minder sebagai entitas bangsa yang berbudaya. Globalisasi harus disikapi dengan bijak dan diambil sisi positifnya, agar tidak berujung pada kemunduran , suatu paradoks yang niscaya dapat terjadi sebagai akibat globalisasi!

Sabtu, 19 November 2011

SELAMAT MENEMPUH BLOG BARU!

Alhamdulillah...!
Setelah terkatung2 selama 4 tahun... Saatnya blog lama saya yang ngga pernah berhasil saya edit, saya re-new ke blog ini...
Blog lama yaitu ww.hestirahayu.blogspot.com entah kenapa ngga bisa diedit lagi.
Okelah, saatnya membiasakan menulis lagi dan menemukan passion menulis yang lumayan lama saya tinggalkan!
Selamat datang dan semoga bisa menempuh blog baru dengan lancar!